Kamis, 13 Agustus 2015

Pasca Dekrit 1959 Sukarno menjelma menjadi Diktator

          Kita tentu sudah mengetahui sejarah yang melatar belakangi terbitnya Dekrit Presiden 1959. Semuanya berawal dari kegagalan Dewan Konstituante dalam merumuskan UUD yang akan menggantikan UUDS 1950. Sejak tahun 1956 Badan Kostituante telah mulai bersidang untuk merumuskan UUD yang baru tapi hingga 1959 Badan Konstituante tidak pernah berhasil menghasilkan kata sepakat dalam perumusan UUD yang baru. Keadaan semakin memburuk karena daerah-daerah mulai memperlihatkan gejolak dan gejala separatis seperti pembentukan Dewan Gajah, Dewan Banteng, Dewan Garuda, Dewan Manguni dan Dewan Lambung Mangkurat.  Daerah mulai tidak mengakui pemerintahan Pusat dan mulai membentuk pemerintahan sendiri seperti PRRI dan PERMESTA.

          Pada tanggal 22 April 1959 didepan sidang Konstituante, Presiden Sukarno menganjurkan untuk kembali ke UUD45 sebagai UUD negara Indonesia. Menanggapi anjuran Presiden Sukarno maka pada tanggal 30 Mei 1959 Konstituante mengadakan pemungutan suara. Hasil pemungutan suara menyatakan mayoritas suara menginginkan untuk kembali ke UUD45 namun jumlah suara tidak mencapai quorum 2/3 suara anggota Konstituante seperti yang disyaratkan pasal 137 UUDS 1950. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni dan lagi-lagi tidak mencapai quorum suara yaitu 2/3 anggota Dewan Konstituante. Akhirnya sejak tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses yang ditanggapi dengan pelarangan seluruh kegiatan partai-partai politik Dalam situasi ini diberitakan bahwa beberapa tokoh partai politik mengusulkan kepada Presiden Sukarno untuk mengeluarkan Dekrit memberlakukan kembali UUD45 serta membubarkan Dewan Konstituante dan segera menggantinya dengan anggota yang baru agar tidak terjadi kevakuman politik.

          Yang menarik dari peristiwa diatas adalah "Kegagalan Dewan Konstituante dlm mencapai Quorum 2/3 Suara anggota Konstituante hingga 3 kali sidang. Seperti diketahui, PNI sebagai pemenang Pemilu 1955 sangat menentukan untuk terjadinya Quorum suara. Disinyalir saat itu PNI memainkan peranannya untuk menggagalkan keputusan sidang dan mengarahkannya agar Sukarno dapat mengambil sebuah tindakan politik sekaligus menghancurkan lawan-lawan politiknya seperti Masyumi, NU, PSI, Murba, Partindo dll. Terbukti dengan diterbitkannya Dekrit Presiden 1959, Dewan Konstituante dibubarkan dan dinyatakan demisioner lalu Sukarnopun mulai memainkan peranannya menunjuk orang-orang yang dianggapnya Loyal untuk duduk di Dewan. Terbukti juga kata-kata kembali ke UUD45 hanyalah "Hiasan Bibir" karena ternyata UUD45 tidak pernah dijalankan pasca Dekrit Presiden 1959 justru Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Sukarno.

          Mari kita bicara tentang dampak dari Dekrit Presiden 1959. Pasca terbitnya Dekrit Presiden 1959, Sukarno membubarkan Dewan Konstituante yang merupakan hasil Pemilu 1955 yang dipilih oleh rakyat dan menggantinya dengan orang-orang hasil penunjukannya. Artinya jari telunjuk Sukarno telah menggantikan Hak Rakyat dalam memilih para wakilnya untuk duduk di Dewan. Ada sebagian rumors yang mengatakan kalau kegagalan Dewan Konstituante memang telah direncanakan untuk menghindari perintah UUD untuk mengadakan Pemilu ditahun 1960. Ingat !! Suara Rakyat adalah Suara Tuhan dan Sukarno telah merampas suara rakyat dan mengkebirinya lalu menempatkan dirinya sebagai Diktator karena mengabaikan UUD sebagai Konstitusi Negara.

           Pasca Dekrit Presiden 1959, kekuasaan Sukarno seolah semakin tidak terbendung. Dengan menunjuk dan menempatkan orang-orang uang dianggapnya Loyal, Sukarno telah menempatkan MPR dibawah kedudukan Presiden. Pasca Dekrit Presiden 1959 maka secara otomatis rencana Pemilu ditahun 1960 tidak dapat dilaksanakan. Pasca Dekrit Presiden 1959, Hukum hanya ada diujung lidah Sukarno, terbukti dengan penangkapan dan pemenjaraan St Syahrir, Moh Roem, Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Sultan Hamid II, Anak Gde Agung dll ditahun 16962 dilakukan tanpa melalui proses persidangan. Bahkan Buya Hamka yang hanya memuat tulisan Bung Hatta yang mengkritisi Sistem Demokrasi Terpimpin ala Sukarno harus mendekam dipenjara tanpa pernah diadili.


Mari kita bandingkan dengan Suharto. Pernahkah Suharto menunjuk dan mengangkat anggota Dewan tanpa melalui Pemilu Legislatif ?
.